Coba tanyakan anak zaman sekarang, adakah mereka yang mengenal permainan egrang, gundu, patelele, gangsing, atau cublak-cublak suweng? Rasanya kok nyaris tak ada. Serbuan permainan modern, mulai play station (PS), game online, hingga berbagai aplikasi permainan pada ponsel, sepertinya kian mengubur permainan anak-anak tempo dulu.
Alhasil, kita tak pernah menjumpai anak-anak bermain dan berlarian ketika bulan purnama. Atau, duduk bersama-sama di beranda dan halaman rumah sembari meletakkan kulit kerang di dalam ceruk congklak. Yang ada, mereka mengurung diri di kamar memegang gadget, atau mengunjungi warung internet (warnet) untuk beradu lihai melalui permainan online.
Di sinilah rasanya kita semua perlu kembali memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anak. Seperti disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Nilai Budaya, Seni, dan Film (NBSF) Kemendikbud, Tjejep Suparman, permainan tradisional anak-anak yang merupakan pusaka budaya mengandung nilai-nilai luhur. Hal itu tercermin dari semangat dan filosofinya. “Makanya, kita semua harus terus mengembangkan permainan tradisional,” paparnya.
Pengembangan permainan tradisional memang menjadi krusial dan mendesak. Sebab, menurut guru besar Fakultas Sastra Universitas Jember, Ayu Sutarto, keberadaan berbagai macam dolanan anak-anak masa lalu itu, sudah sangat terancam. Penyebabnya, sebagian orang tua tidak pernah mengajarkan permainan itu, sehingga anak-anak zaman sekarang pun lebih suka bermain permainan modern. “Sebagian besar permainan tradisional anak-anak sudah punah. Namun, masih ada sebagian kecil permainan anak Nusantara yang bertahan dan memiliki pewaris aktif yang cukup signifikan,” keluhnya.
Sungguh disayangkan memang. Sebab, selain murah meriah, permainan tradisional juga mengajarkan banyak nilai kepada anak-anak, termasuk kejujuran. “Tidak ada unsur kekerasan dalam permainan anak-anak Nusantara. Secara langsung dan tidak langsung, permainan tradisional merangsang kecerdasan tumbuh kembang anak,” ujarnya menambahkan.
Hal ini tentu berbeda dengan permainan masa kini, yang cenderung mahal, membuat anak-anak egois, individualis, serta berpotensi menjadi pribadi yang penuh dengan kekerasan.
Nilai-nilai Luhur
Lantas, apa saja nilai yang terkandung dari masing-masing dolanan itu? Cublak-cublak suweng, misalnya. Menurut Nurhidayati, pengajar Pendidikan Bahasa Daerah, Universitas Negeri Yogyakarta, cublak-cublak suweng merupakan wujud budaya Jawa yang adiluhung. Permainan yang dimainkan 4-8 anak tersebut, bisa dijadikan sarana menyampaikan wejangan atau ajaran kepada anak. Proses yang berlangsung dalam pembentukan perilaku tersebut, lanjutnya, seiring dengan dunia bermain pada anak. Sehingga, anak tidak merasa tertekan atau dipaksakan. “Perilaku yang bisa dibentuk melalui cublak-cublak suweng antara lain tanggung jawab, jujur, disiplin, adil, dan berani,” katanya. Simak saja tembang pengiringnya:
Cublak cublak suweng
Suwenge ting gelèntèr
Mambu ketundhung gudèl
Pak empong lera-léré
Sapa ngguyu ndelikkaké
Sir sir pong dhelé kopong
Sir sir pong dhelé kopong
Biasanya, lagu dinyanyikan lebih dari satu kali hingga suweng (batu yang disembunyikan) beredar beberapa putaran. Setelah dirasa cukup dan lagu selesai dinyanyikan, suweng akan berhenti diedarkan. Saat itu semua tangan harus menutup seolah-olah semuanya menggenggam suweng.
Seorang anak yang berperan sebagai Pak Empong, bangkit dan memulai tugas utamanya. Yakni, menebak, siapakah yang menyembunyikan suweng. Suweng sendiri disembunyikan oleh orang terakhir, yaitu tepat ketika lagu selesai dimainkan. Jika benar tebakannya, peserta yang tertebak tersebut harus bersikap jujur dan bergantian menjadi Pak Empong. Dalam cublak-cublak suweng, sikap berbohong menjadi hal yang tabu. Karena jika ketahuan seorang peserta berbohong dan bermain curang, teman-teman lain akan mengucilkan dirinya.
Congklak atau dakon, juga mengajarkan kejujuran. Permainan yang dilakukan dua anak ini, mempergunakan alat permainan yang terbuat dari kayu berbentuk seperti perahu, yang memiliki 14 lubang setengah lingkaran berukuran sedang dan dua lain berukuran lebih besar. Agar bisa bermain, diperlukan pula biji-bijian untuk mengisi lubang tersebut. Biasanya berupa biji asam, sawo atau biji tanjung. Di daerah pesisir biji-bijian itu diganti dengan kewuk atau kulit kerang.
Menurut Ayu Sutarto, permainan dakon juga mengajarkan untuk menabung dan berlaku jujur. Secara implisit, terkandung makna seperti peribahasa “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. “Kearifan lokal yang terdapat dalam permainan dakon sungguh tidak bisa diremehkan dalam membentuk kepribadian anak,” tutur Ayu.
Egrang juga begitu. Dikenal sebagai tengkak-tengkak di Sumatera Barat, ingkau di Bengkulu, jajangkungan (Jawa Barat), dan batungkau (Kalimantan Selatan), egrang mengajarkan keberanian, tenggang rasa, dan kejujuran.
Selain kejujuran, egrang juga membutuhkan keberanian dan sifat pantang menyerah. Anak-anak diajarkan untuk tidak ragu-ragu dalam melangkah. Baik ketika melangkah maju atau mundur. Sebab, ketika keragu-raguan muncul, maka secara otomatis akan terjatuh.
Nilai lain yang terkandung dalam permainan egrang adalah: kerja keras, keuletan, dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar dapat mengalahkan lawannya. Menurut Aceng Sulaiman, pegiat egrang asal Rancaekek, Bandung, nilai keuletan tercermin dari proses pembuatan alat yang digunakan untuk berjalan yang memerlukan ketekunan agar seimbang dan mudah digunakan untuk berjalan. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. “Tidak boleh berbuat curang saat bermain egrang,” katanya.
Referensi: Majalah Integrito, vol. 41/ VI/September-OkTober 2014, hal 44-45.
hoky
BalasHapuscantik
menarik
KLIK DI SINI
manja
menang banyak